BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Sesungguhnya segala puji adalah
milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunanNya. Kita
berlindung kepada Allah dari kejahatan dan keburukan amal perbuatan kita. Siapa
yang ditunjuki Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang
disesatkan Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya. Aku ber-saksi bahwa
tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. semoga shalawat,
salam dan keberkahan dilimpahkan kepada beliau, keluarga, sahabat dan segenap
orang yang mengikutinya. Amma ba'-du.
Di antara hal yang menyibukkan hati
kebanyakan umat Islam adalah mencari rizki. Dan menurut pengamatan, sejumlah
umat Islam memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka.
Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan lagi bahwa ada
sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syari'at Islam tetapi
mereka mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan dibidang materi dan
kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari sebagian hukum hukum Islam,
terutama yang berkenaan dengan halal dan haram.
Mereka itu lupa atau pura-pura lupa
bahwa Sang Khaliq tidaklah mensyariatkan agamaNya hanya sebagai petun-juk bagi
umat manusia dalam perkara-perkara akhirat dan kebahagiaan mereka di sana saja.
Tetapi Allah mensyariatkan agama ini juga untuk menunjuki manusia dalam urusan
kehidupan dan kebahagiaan mereka di dunia. Bahkan do'a yang sering dipanjatkan
Nabi kita , kekasih Tuhan Semes-ta Alam, yang dijadikanNya sebagai teladan bagi
umat ma-nusia adalah: "Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami
kebaik-an di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api
Neraka."
Allah dan RasulNya yang mulia tidak
meninggalkan umat Islam tanpa petunjuk dalam kegelapan, berada dalam keraguan
dalam usahanya mencari penghidupan. Tetapi sebaliknya, sebab-sebab rizki itu
telah diatur dan dijelaskan. Seandainya umat ini mau memahaminya, menyadarinya,
berpegang teguh dengannya serta menggunakan sebab-sebab itu dengan baik,
niscaya Allah Yang Maha Pemberi Rizki dan memiliki kekuatan akan memudahkannya mencapai
jalan-jalan untuk mendapatkan rizki dari setiap arah, serta akan dibukakan
untuknya keberkahan dari langit dan bumi.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis
paparkan. Maka titik permasalahan yang penulis angkat adalah:
1.
Bagaimana cara menarik
rezeki menurut al-qur’an dan as-sunnah?
2.
Bagaimana cara beribadah
sepenuhnya kepada allah?
1.3
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan masalah yang penulis
angkat. Maka dengan adanya makalah ini penulis harapkan :
1.
Kita dapat mengetahui Bagaimana
cara menarik rezeki menurut al-qur’an dan as-sunnah.
2.
Kita dapat mengetahui Bagaimana
cara beribadah sepenuhnya kepada allah.
BAB II ISI
2.1
Istighfar
dan Taubat
2.1.1
Hakikat
Istighfar dan Taubat
Sebagian besar orang menyangka bahwa
istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mere-ka
mengucapkan, "Aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat
kepadaNya" Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati,
juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar
dan taubat jenis ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
Para ulama – semoga Allah memberi
balasan yang se-baikbaiknya kepada mereka telah menjelaskan hakikat istighfar
dan taubat. Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan: "Dalam istilah
syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa
yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha
mela-kukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah
terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna".
Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya
sendiri menjelaskan: "Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa
hu-kumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang
tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama,
hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali per-buatan
(maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.
Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubat itu berkaitan
dengan manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan keempat,
hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika ber-bentuk
harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengem-balikannya. Jika berupa had
(hukuman) tuduhan atau seje-nisnya maka ia harus memberinya kesempatan
untuk
mem-balasnya at u meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing),
maka ia harus meminta maaf."
Adapun istighfar, sebagaimana
diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan
ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,
sesungguhnya Dia Maha Pengampun." (Nuh: 10). Tidaklah berarti bahwa mereka
diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan
perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan
lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta.
2.1.2 Dalil Syar'i Bahwa Istighfar dan Taubat
Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash (teks) Al-Qur'an dan
Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab sebab rizki
dengan karunia Allah . Di bawah ini beberapa nash dimaksud:
1.
Apa yang disebutkan Allah tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya : "Maka
aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesungguhnya Dia
adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan
lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun
dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai'." (Nuh: 10-12).
Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut dengan
istighfar.
a.
Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya.
Berdasarkan firmanNya: "Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun."
b.
Diturunkannya hujan yang lebat oleh
Allah. Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata " " adalah (hujan) yang
turun dengan deras.
c.
Allah akan membanyakkan harta dan
anak-anak. Dalam menafsirkan ayat:Atha' berkata: "Niscaya Allah akan
membanyakkan harta dan anak-anak kalian".
d.
Allah akan menjadikan untuknya
kebun-kebun.
e.
Allah akan menjadikan untuknya
sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata: "Dalam ayat ini, juga disebutkan
dalam (surat Hud) adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah
satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan.
Al-Hafizh
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata: "Makna-nya, jika kalian bertaubat
kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaatiNya niscaya
Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan
dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan
tumbuhtumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian,
mem-banyakkan harta dan anak anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di
dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan
sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian).
Demikianlah, dan Amirul mukminin
Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayatayat ini
ketika beliau memohon hujan dari Allah. Muthrif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi:
"Bahwasanya Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang ba-nyak. Dan
beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu
beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda
memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan dengan
majadih langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau
membaca ayat:
"Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat." (Nuh: 10-11).
Imam
Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap
orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya
keturunan dan kekeringan kebun-kebun.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari
Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata: "Ada seorang laki-laki mengadu kepada
Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya,
"Beristighfarlah kepada Allah!" Yang lain mengadu kepadanya tentang
kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, "Beristighfarlah kepada
Allah!" Yang lain lagi berkata kepadanya, "Do'akanlah (aku) kepada
Allah, agar ia memberiku anak!" Maka beliau mengatakan kepadanya,
"Beristighfarlah kepada Allah!" Dan yang lain lagi mengadu kepadanya
tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya,
"Beristighfarlah kepa-da Allah!".
Dan kami menganjurkan demikian
kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan:
"Maka Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya, 'Banyak orang yang mengadukan
bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk
beristighfar. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, 'Aku tidak mengatakan hal itu
dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh:
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,
niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan
harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungaisungai." (Nuh: 10-12).
Allahu Akbar! Betapa agung, besar
dan banyak buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk
hamba-hambaMu yang pandai beristighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya,
di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.
Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus MakhlukNya.
2.
Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan ten-tang seruan Hud kepada
kaumnya agar beristighfar.
"Dan (Hud berkata), 'Hai
kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan
hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada
kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (Hud:52).
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam
menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan: "Kemudian Hud
memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu
dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan
mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan
rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah
berfirman: "Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atas-mu".
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang
yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizkirizki kami,
lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadaan kami. Sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan
dan kemuliaan.
2.2 Taqwa
2.2.1 Makna Taqwa
Para ulama telah menjelaskan apa
yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani
mendefinisikan: "Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya
berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang dilarang, menjadi sempurna dengan
meninggalkan sebagian yang dihalalkan".
Sedangkan Imam An-Nawawi
mendefinisikan taqwa dengan "Mentaati perintah dan laranganNya."
Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah . Hal itu sebagaimana
didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani "Taqwa yaitu menjaga diri dari
pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau
meninggalkannya."
Karena itu, siapa yang tidak menjaga
dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia bukanlah orang bertaqwa. Maka orang
yang melihat dengan kedua matanya apa yang diharamkan Allah, atau mendengarkan
dengan kedua telinganya apa yang dimurkai Allah, atau mengambil dengan kedua
tangan-nya apa yang tidak diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yang dikutuk
Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari dosa. Jadi, orang yang membangkang
perintah Allah serta melakukan apa yang dilarangNya, dia bukanlah termasuk
orang-orang yang bertaqwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat
sehingga ia pantas mendapat murka dan siksa dari Allah, maka ia telah
mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.
2.2.2 Dalil
Syar'i Bahwa Taqwa Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash yang menunjukkan bahwa
taqwa termasuk di antara sebab rizki, Di antaranya:
1.
Firman Allah:
"Barangsiapa yang bertaqwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi-nya
rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2-
3).
Dalam ayat di atas, Allah
menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan dibalas Allah dengan dua
hal. Pertama, "Allah akan mengadakan jalan keluar baginya." Artinya,
Allah akan menyelamatkannya –sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu
– dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat. Kedua, "Allah akan
memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka." Artinya, Allah
akan memberi-nya rizki yang tak pernah ia harapkan dan angankan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya mengatakan: "Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
dengan melakukan apa yang diperintahkanNya dan meninggalkan apa yang dilarangNya,
niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak
disangkasangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam
benaknya,"
Alangkah agung dan besar buah taqwa
itu! Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal
pemberian janji jalan keluar adalah: "Barangsiapa bertaqwa kepada Allah,
niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya".
2.
Ayat lainnya adalah firman Allah:
"Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
me-reka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri".
(Al -A'raf: 96).
Dalam ayat yang mulia ini Allah
menjelaskan, seandai-nya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni
iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka
dan memudahkan mereka mendapatkannya dari segala arah. Menafsirkan firman
Allah:
"Pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berbagai berkah dari langit dan bumi, Abdullah bin Abbas
mengatakan: "Niscaya Kami lapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan
Kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkan dari segala arah."
2.3 Bertawaqal Kepada Allah
2.3.1 Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para ulama –semoga Allah membalas
mereka dengan sebaik-baik balasan– telah menjelaskan makna tawakkal. Di
antaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata: "Tawakkal adalah
penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata."
Al-Allamah Al-Manawi berkata:
"Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada
yang di tawakkali."
Menjelaskan makna tawakkal kepada
Allah dengan sebenarbenar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori berkata:
"Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam
alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun
rizki, pem-berian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau
kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai
sesuatu yang maujud (ada), semua-nya itu adalah dari Allah."
2.3.2 Dalil syar'i Bahwa Bertawakkal kepada Allah
Termasuk Kunci Rizki
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ibnu Al-Muba-rak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qhudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan
dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda: "Sungguh, seandainya
kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan
diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi pagi dalam
keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."
Dalam hadits yang mulia ini,
Rasulullah yang ber-bicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal
kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki oleh
Allah sebagaimana burung-burung diberiNya rizki. Betapa tidak demikian, karena
dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang tidak pernah mati.
Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Allah akan
mencukupinya. Allah berfirman: "Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah,
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiaptiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan ayat tersebut, Ar-Rabi'
bin Khutsaim mengatakan: "(Mencukupkan) diri setiap yang membuat sempit
manusia".
2.3.3 Apakah Tawakkal itu Berarti Meninggalkan Usaha?
Sebagian orang mukmin ada yang
berkata: "Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki,
maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita
cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki kita datang dari langit?"
Perkataan ini sungguh menunjukkan
kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia
telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung
yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak
memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan
tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa dan Yang
kepadanya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama –semoga Allah membalas
mereka dengan sebaik-baik kebaikan– telah memperingatkan masa-lah ini. Di
antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: " Dalam hadits tersebut tidak
ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di
dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud
hadits tersebut, bahwa seandainya mereka berta-wakkal kepada Allah dalam
kepergian, kedatangan dan usa-ha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rizki)
itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan
harta dengan selamat, sebagaimana burungburung tersebut."
Imam Ahmad pernah ditanya tentang
seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid seraya berkata, 'Aku
tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku datang sendiri'. Maka beliau
berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku."
Dan beliau bersabda: "Sekiranya
kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah
memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung berangkat
pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. "
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan
pulang sore hari dalam rangka men-cari rizki. Selanjutnya Imam Ahmad berkata:
"Para Sahabat berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka
itulah teladan kita". Syaikh Abu Hamid berkata: "Barangkali ada yang
mengi-ra bahwa makna tawakkal adalah , meninggalkan pekerjaan secara fisik,
meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah
seperti sobekan kain yang di-lemparkan, atau seperti daging di atas landasan
tempat me-motong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu
adalah haram menurut hukum syari'at. Sedangkan syari'at memuji orang yang
bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama
dapat di-peroleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula?
Hakikat yang sesungguhnya dalam hal
ini dapat kita katakan, "Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak
dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai
tujuan-tujuannya". Imam Abul Qosim Al-Qusyairi berkata: "Ketahuilah
sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal
itu tidak bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seorang
hamba meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan,
maka hal itu adalah karena taqdirNya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu
karena kemudahan dariNya."
Di antara yang menunjukkan bahwa
tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin
Umayah dari ayahnya , ia berkata: "Seseorang berkata kepada Nabi , Aku
lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?' Nabi bersabda: 'Ikatlah kemudian
bertawakkallah'."
Dan dalam riwayat Al-Qudha'i
disebutkan: "Amr bin Umayah berkata: 'Aku bertanya,'Wahai Rasulullah,
Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau
aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?' Beliau menjawab, 'Ikatlah
kendaran (unta)mu lalu bertawakkallah'.
"Kesimpulan dari pembahasan ini
adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Dan sungguh setiap
muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan
penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada kelelahan, kerja
keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala urusan adalah milik
Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
2.4 Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya
2.4.1 Makna Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.
Hendaknya seseorang tidak mengira
bahwa yang dimak-sud beribadah sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha
untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam.
Tetapi yang dimaksud – wallahu a'lam– adalah hendaknya seorang hamba beribadah
dengan hati dan jasadnya, khusyu' dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang
Maha Esa, menghadirkan (dalam hati) betapa besar keagungan Allah, benar-benar
merasa bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha Menguasai dan Maha
Menentukan. Yakni beribadah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
"Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan akan kami melihatNya. Jika
kamu tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu."
Janganlah engkau termasuk
orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka berada di masjid, sedang
hatinya berada di luar masjid. Menjelaskan sabda Rasulullah :
"Beribadahlah
sepenuhnya kepadaKu". Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, "Maknanya,
jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (berkonsentrasi) untuk beribadah
kepada Tuhan-mu".
2.4.2 Dalil Syar’I Bahwa Beribadah Kepada Allah
Sepenuhnya Termasuk Kunci Rizki
Ada beberapa nash yang menunjukkan
bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah termasuk di antara kunci-kunci rizki.
Beberapa nash tesebut di antaranya adalah: 1. Hadits yang diriwayatkan Imam
Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda:
1.
Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari
Abu Hurairah , dari Nabi beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah berfirman,
'wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi (hatimu
yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak
kalian lakukan, nis-caya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku
penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)'.
" Nabi dalam hadits tersebut
menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah kepadaNya
sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah
kepadaNya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah Allah
mengisi hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi
kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang
yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan berbagai kesibuk-an, dan ia
tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan kepada
manusia.
2.
Hadist riwayat Imam Al-Hakim dari Ma'qal bin Yasar
ia berkata, Rasulullah bersabda:
"Tuhan kalian berkata, 'Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu
sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua
tanganmu dengan rizki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi
hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan."
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi
yang mulia, yang berbicara berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah,
yang tak satu pun lebih memenuhi janji dari padaNya, berupa dua jenis pahala
bagi orang yang benar-benar beribadah kepada Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah
pasti memenuhi hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan rizki.
Sebagaimana Nabi juga memperingatkan akan ancam-an Allah kepada orang yang
menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan
kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.
Dan semua mengetahui, siapa yang
hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya tidak akan didekati
oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki
oleh Yang Maha Memberi rizki dan Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan pernah
pailit selamalamanya. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran
oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan, niscaya tak seorang pun mampu
membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh Yang Maha Perkasa dan Maha
Memaksa, niscaya tak seorang pun yang mampu memberinya waktu luang.
2.5 Melanjutkan Haji dengan Umroh Atau
Sebaliknya
2.5.1 Yang Dimaksud Melanjutkan Haji Dengan Umrah
Atau Sebaliknya
Syaikh Abul Hasan As-Sindi
menjelaskan tentang maksud melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya
berkata: "Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, di mana ia
dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka tunaikanlah
umrah. Dan jika kalian menunaikan umrah maka tunaikanlah haji, sebab keduanya
saling mengikuti.
2.5.2 Dalil Syar'i Bahwa Melanjutkan Haji Dengan
Umrah Atau Sebaliknya Termasuk Kunci Rizki
Di antara hadits-hadits yang
menunjukkan bahwa melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya termasuk
kunci-kunci rizki adalah :
1.
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Hibban meriwayatkah dari Abdullah bin
Mas'ud berkata, Rasulullah bersabda: "Lanjutkanlah haji dengan umrah,
karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa, sebagaimana api
dapat menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala haji
yang mabrur itu melainkan Surga".
Dalam hadits yang mulia tersebut
Nabi yang terper-caya, yakni berbicara dengan wahyu menjelaskan bahwa buah
melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya adalah hilangnya kemiskinan dan
dosa. Imam Ibnu Hibban memberi judul hadits ini dalam kitab shahihnya dengan:
"Keterangan Bahwa Haji dan Umrah Menghilangkan Dosa-dosa dan Kemiskinan
dari Setiap Muslim dengan Sebab Keduanya."
Sedangkan Imam Ath-Thayyibi dalam
menjelaskan sabda Nabi : "Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan
dan dosa-dosa", dia berkata, "Kemampuan keduanya untuk menghilangkan
kemiskinan seperti kemampuan amalan ber-sedekah dalam menambah harta."
2.
Hadits riwayat Imam An-Nasa'i dari Ibnu Abbas c
ia berkata bahwa Rasulullah pernah
bersabda: "Lanjutkanlah haji dengan umrah atau sebaliknya. Kare-na
sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemis-kinan dan dosa-dosa sebagaimana
api dapat menghi-langkan kotoran besi." Maka orang-orang yang menginginkan
untuk dihilangkan kemiskinan dan dosa-dosanya, hendaknya ia segera melanjutkan
hajinya dengan umrah atau sebaliknya.
2.6 Silaturrahim
2.6.1 Makna Silaturrahim
Makna "ar-rahim" adalah
para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: "Ar-rahim" secara
umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antara mereka terdapat garis
nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau
tidak."
Menurut pendapat lain, mereka adalah
maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja. Pendapat pertama lebih
kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi
bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak
demikian."
Silaturrahim, sebagaimana dikatakan
oleh Al-Mulla Ali Al- Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat
baik kepada para karib kerabat dekat –baik menurut garis keturunan maupun
perkawinan– berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka.
2.6.2 Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk
Kunci Rizki
Beberapa hadits dan atsar
menunjukkan bahwa Allah menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab
kelapang-an rizki. Di antara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah:
1.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, 'Aku mendengar
Rasulullah bersabda: "Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan
diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) maka hendaknyalah ia menyambung
(tali) silaturrahim".
2.
Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik bahwasanya
Rasulullah bersabda:"Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan
diakhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung
silaturrahim."
Dalam hadits yang mulia di atas,
Nabi menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan
bertambahnya usia.
Ini adalah tawaran terbuka yang
disampaikan oleh makhluk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara
berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad . Maka barangsiapa menginginkan dua buah di
atas hendaknya ia menaburkan benihnya, yaitu silaturrahim. Demikianlah,
sehingga Imam Al- Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan "Bab
Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim." Artinya, dengan
sebab silaturrahim.
Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan
hadits Anas bin Malik dalam kitab shahihnya dan beliau memberi judul dengan:
"Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki
Bagi Orang Yang Menyambung Silaturrahim.
2.6.3 Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim?
Sebagian orang menyempitkan makna
silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari
itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat
serta (upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau
dengan
lainnya.
Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: "Silaturrahim itu bias dengan harta, dengan
memberikan kebutuhan mereka, dengan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah
yang berseri-seri serta dengan do'a." Makna silaturrahim yang lengkap
adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaik-an,
serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan
kemampuannya (kepada kerabat dekat).
2.6.4 Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli
Maksiat
Sebagian orang salah dalam memahami
tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat. Mereka mengira bahwa
bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan menyayangi mereka,
bersama-sama duduk dalam satu majelis dengan mereka, makan bersama-sama mereka
serta bersi-kap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak benar.
Semua memaklumi bahwa Islam tidak
melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang suka berbuat maksiat, bahkan
hingga kepada orang-orang kafir. Allah berfirman: "Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik dan ber-laku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangi-mu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah:
8).
Demikian pula sebagaimana disebutkan
dalam hadits Asma' binti Abu Bakar c yang menanyakan Rasullah untuk
bersilaturrahmi kepada ibunya yang musyrik. Dalam hadits ini diantaranya
disebutkan: "Aku bertanya, 'Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap,
apakah aku harus menyambung (silaturrahim) dengan ibuku?' Beliau menjawab, 'Ya,
sambunglah (silaturrahim) dengan ibumu'."
Tetapi, itu bukan berarti harus
saling mencintai dan menyayangi, duduk-duduk satu majelis dengan mereka.
Bersama-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut dengan orang-orang kafir
dan ahli maksiat tersebut. Allah berfirman: "Kamu tidak akan mendapati
sesuatu kaum yang ber-iman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun
orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-sudara atau pun
keluarga me-reka." (Al-Mujadilah:22).
Makna ayat yang mulia ini
–sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Razi– adalah bahwasanya tidak akan bertemu
antara iman dengan kecintaan kepada musuh-musuh Allah. Karena jika seseorang
mencintai orang lain maka tidak mungkin ia akan mencintai musuh orang tersebut.
Dan berdasarkan ayat ini, Imam Malik
menyatakan bolehnya memusuhi kelompok Qadariyah dan tidak duduk satu majelis
dengan mereka. Imam Al-Qurthubi mengomentari dasar hukum Imam Malik: "Saya
berkata, 'Termasuk dalam makna kelompok Qadariyah adalah semua orang yang
zhalim dan yang suka memusuhi'." Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan
ayat yang mulia tersebut berkata: "Artinya, mereka tidak saling men-cintai
dengan orang yang suka menentang (Allah dan Rasul-Nya), bahkan meskipun mereka
termasuk kerabat dekat."
Sebaliknya, silaturrahim dengan
mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar tidak mendekat kepada
Neraka dan menjauhi dari Surga. Tetapi, bila kondisi mengisyaratkan bahwa untuk
mencapai tujuantersebut ada-lah dengan cara memutuskan hubungan dengan mereka,
maka pemutusan hubungan tersebut – dalam kondisi demi-kian– dapat dikategorikan
sebagai silaturrahim.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Abu Jamrah
berkata: "Jika mereka itu orang-orang kafir atau suka berbuat dosa maka
memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah (bentuk) silaturrahim
dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha untuk menasehati dan memberitahu
mereka, dan mereka masih terus membandel. Kemudian, hal itu (pe-mutusan
silaturrahim) dilakukan karena mereka tidak mau menerima kebenaran. Meskipun
demikian, mereka masih te-tap berkewajiban mendo'akan mereka tanpa
sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus.
2.7 Berinfak di Jalan Allah
2.7.1 Yang Dimaksud Berinfak
Di tengah-tengah menafsirkan firman
Allah: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan
menggantinya". (Saba': 39). Syaikh Ibnu Asyur berkata: "Yang dimaksud
dengan infak di sini adalah infak yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfak
kepada orang-orang fakir dan berinfak di jalan Allah untuk menolong
agama."
2.7.2 Dalil Syar'i Bahwa Berinfak di Jalan Allah
Adalah Termasuk Kunci Rizki
Ada beberapa nash dalam Al-Qur'anul
Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif yang menunjukkan bahwa orang yang berinfak di
jalan Allah akan diganti oleh Allah di dunia. Di samping, tentunya apa yang
disediakan oleh Allah baginya dari pahala yang besar di akhirat. Di antara
dalil-dalil itu adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah:
"Dan barang apa saja yang kamu
nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang
se-baikbaiknya."(Saba': 39).
Dalam menafsirkan ayat di atas,
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Betapapun sedikit apa yang kamu infakkan
dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diper-bolehkanNya,
niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan di akhirat engkau akan
diberi pahala dan gan-jaran, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits…"
Imam Ar-Razi berkata, "Firman
Allah: 'Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya',
adalah realisasi dari sabda Nabi : "Tidaklah para hamba berada di pagi
hari…. " (Al -Hadits). Yang demikian itu karena Allah adalah Penguasa,
Maha Tinggi dan Maha Kaya. Maka jika Dia berkata: "Nafkahkanlah dan Aku
yang akan menggantinya,' maka itu sama dengan janji yang pasti ia tepati.
Sebagaimana jika Dia berkata: "Lemparkanlah barangmu ke dalam laut dan Aku
yang menjaminnya."
Maka, barangsiapa berinfak berarti
dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan ganti. Sebaliknya, siapa yang tidak
berinfak maka hartanya akan lenyap dan ia tidak berhak mendapatkan ganti. Hartanya
akan hilang tanpa ganti, arti-nya lenyap begitu saja. Yang mengherankan, jika
seseorang pedagang mengeta-hui bahwa sebagian dari hartanya akan binasa, ia
akan menjualnya dengan cara nasi'ah (pembayaran di belakang), meskipun
pembelinya termasuk orang miskin. Lalu ia berkata, hal itu lebih baik daripada
pelan-pelan harta itu binasa. Jika ia tidak menjualnya sampai harta itu binasa
maka ia akan disalahkan. Dan jika ada orang mampu yang menjamin orang miskin
itu, tetapi ia tidak menjualnya (kepada orang tersebut) maka ia disebut orang
gila. Dan sungguh, hampir setiap orang melakukan hal ini, tetapi masing-masing
tidak menyadari bahwa hal itu mendekati gila. Sesungguhnya harta kita semuanya
pasti akan binasa. Dan menafkahkan kepada keluarga dan anak-anak adalah berarti
memberi pinjaman. Semuanya itu berada dalam jaminan kuat, yaitu Allah Yang Maha
Tinggi. Allah berfirman: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia
pasti manggantinya."
Lalu Allah memberi pinjaman kepada
setiap orang, ada yang berupa tanah, kebun, penggilingan, tempat pemandian
untuk berobat atau manfaat tertentu. Sebab setiap orang tentu memiliki
pekerjaan atau tempat yang daripadanya ia mendapatkan harta. Dan semua itu
milik Allah. Di tangan manusia, harta itu adalah pinjaman. Jadi, seakan-akan
barang- barang tersebut adalah jaminan yang diberikan Allah dari rizkiNya, agar
orang tersebut percaya penuh kepadaNya bahwa bila dia berinfak, Allah pasti
akan menggantinya. Tetapi meskipun demikian, ternyata ia tidak mau berinfak dan
membiarkan hartanya lenyap begitu saja tanpa mendapat pahala dan disyukuri.
Selain itu, Allah menegaskan
janjiNya dalam ayat ini kepada orang yang berinfak untuk menggantinya dengan
rizki (lain) melalui tiga penegasan. Dalam hal ini, Ibnu Asyur berkata:
"Allah menegaskan janji tersebut dengan kalimat bersyarat, dan dengan
menjadikan jawaban dari kali-mat bersyarat itu dalam bentuk jumlah ismiyah dan
dengan mendahulukan musnad ilaiah (sandaran) terhadap khabar fi'ilnya. Dengan
demikian,
janji tersebut ditegaskan dengan tiga pene-gasan yang menunjukkan bahwa Allah
benar-benar akan merealisasikan janji itu. Sekaligus menunjukkan bahwa
ber-infak adalah sesuatu yang dicintai Allah. Dan sungguh janji Allah adalah
sesuatu yang tegas, ya-kin, pasti dan tidak ada keraguan untuk diwujudkannya,
walaupun tanpa adanya penegasan seperti di atas. Lalu, bagaimana halnya jika
janji itu ditegaskan dengan tiga penegasan?
2.
Dalil lain adalah firman Allah:
"Setan menjanjikan
(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (Al -Baqarah: 268).
Menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu
Abbas berkata: "Dua hal dari Allah, dan dua hal dari setan. "Setan
men-janjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan." Setan itu berkata,
'Jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu
membutuhkannya'. "Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir)."(Dan
dua hal dari Allah adalah), "Allah menjanjikan untukmu ampunan
daripadaNya," yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, "dan
karunia" berupa rizki.
Al-Qadhi Ibnu Athiyah menafsirkan
ayat ini berkata: "Maghfirah (ampunan Allah) adalah janji Allah bahwa Dia
akan menutupi kesalahan segenap hambaNya di dunia dan di akhirat. Sedangkan
al-fadhl (karunia) adalah rizki yang luas di dunia, serta pemberian nikmat di
akhirat, dengan segala apa yang telah dijanjikan Allah .
Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah dalam
menafsirkan ayat yang mulia ini berkata: "Demikianlah, peringatan setan
bah-wa orang yang menginfakkan hartanya, bisa mengalami kefakiran bukanlah
suatu bentuk kasih sayang setan kepadanya, juga bukan suatu bentuk nasihat baik
untuknya. Ada pun Allah, maka Ia menjanjikan kepada hambaNya ampunan dosa-dosa
daripadaNya, serta karunia berupa penggantian yang lebih baik daripada yang ia
infakkan, dan ia dilipatgan-dakan Nya baik di dunia saja atau di dunia dan di
akhirat."
2.8 Memberi Nafkah Kepada Orang Yang
Sepenuhnya Menuntut Ilmu Syariat
Termasuk kunci-kunci
rizki adalah memberi nafkah ke-pada orang yang sepenuhnya menuntut ilmu
syari'at (agama). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits riwayat
At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata:
"Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah. Salah seorang
daripadanya mendatangi Nabi dan (saudaranya) yang lain bekerja. Lalu saudaranya
yang bekerja itu mengadu kepada Nabi maka beliau bersabda: Mudah-mudahan engkau
diberi rizki dengan sebab dia."
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi
yang mulia menje-laskan kepada orang yang mengadu kepadanya karena kesi-bukan
saudaranya dalam menuntut ilmu agama, sehingga membiarkannya sendirian mencari
penghidupan (bekerja), bahwa ia tidak semestinya mengungkit-ungkit nafkahnya
ke-pada saudaranya, dengan anggapan bahwa rizki itu
datang
karena dia bekerja. Padahal ia tidak tahu bahwasanya Allah membukakan pintu
rizki untuknya karena sebab nafkah yang ia berikan kepada suadaranya yang
menuntut ilmu agama secara sepenuhnya.
Al-Mulla Ali Al-Qari menjelaskan
sabda Nabi : "Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia,"
yang menggunakan shighat majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata,
'Yakni, aku berharap atau aku ta-kutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rizki
karena berkah-nya. Dan bukan berarti di diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh
sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaan-mu
kepadanya."
Al-Alamah Ath-Thaibi berkata:
"Makna 'áóÚóáøó' (mudahmudahan) dalam sabda beliau 'áóÚóáøóßó'
(mudahmudahan engkau), bisa kembali kepada Rasulullah , sehingga ber-fungsi
untuk memberikan kepastian (bahwa dia mendapat-kan rizki karena berkah
saudaranya) dan menegur (bahwa dia mendapatkan rizki bukan karenapekerjaannya).
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits: "Bukanlah kalian diberi rizki
karena sebab orang-orang lemah di antara kalian?" Tetapi bisa pula kembali
kepada orang yang diajaknya bicara untuk mengajakanya berfikir dan merenungkan,
sehingga ia menjadi sadar."
Demikianlah, dan sebagian ulama
telah menyebutkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu agama secara
sepenuhnya adalah termasuk kelompok orang yang disinggung dalam firman Allah:
"(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah, mereka tidak dapat (beru-saha) di muka bumi, orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari me-minta-minta. Kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." (Al -Baqarah: 273).
Imam Al-Ghazali berkata: "Ia
harus mencari orang yang tepat untuk mendapatkan sedekahnya. Misalnya para ahli
ilmu. Sebab hal itu merupakan bantuan baginya untuk (mempelajari) ilmunya. Ilmu
adalah jenis ibadah yang paling mulia, jika niatnya benar. Ibnu Al-Mubarak
senantiasa mengkhususkan kebaikan (pemberiannya) bagi para ahli ilmu. Ketika
dikatakan kepada beliau, "Mengapa tidak engkau berikan pada orang secara
umum?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya aku tidak mengetahui suatu
kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika
hati para ulama itu sibuk mencari kebutuhan (hidupnya), niscaya ia tidak bisa
memberi perhatian sepe-nuhnya kepada ilmu, serta tidak akan bias belajar
(dengan baik). Karena itu, membuat mereka bias mempelajari ilmu secara
sepenuhnya adalah lebih utama."
2.9 Berbuat Baik Kepada Orang-Orang Lemah
Termasuk di antara kunci-kunci rizki
adalah berbuat baik kepada orang-orang miskin. Nabi menjelaskan bahwa para
hamba itu ditolong dan diberi rizki disebabkan oleh orang-orang yang lemah di
antara mereka. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Mush'ab bin Sa-'dan ia
berkata, 'Bahwasanya Sa'dan merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang
lain. Maka Rasulullah bersabda: "Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki
lantaran orangorang lemah di antara kalian?" Karena itu, siapa yang ingin
ditolong Allah dan diberi rizki olehNya maka hendaknya ia memuliakan
orang-orang lemah dan berbuat baik kepada mereka." Nabi yang mulia, juga
menjelaskan bahwa keridhaan-nya dapat diperoleh dengan berbuat baik kepada
orang-orang miskin.
Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Darda' bahwasanya ia
berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: "Carilah (keridhaan)ku melalui
orang-orang lemah di antara kalian. Karena sesungguhnya kalian diberi rizki dan
ditolong dengan sebab orang-orang lemah di antara kalian." Menjelaskan
sabda Nabi di atas Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, "Carilah keridhaanku
dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin di antara kalian." Dan
barangsiapa berusaha mendapatkan keridhaan kekasih Yang Maha Memberi rizki dan
Maha Memiliki kekuatan dan keperkasaan, Muhammad dengan berbuat kepada
orang-orang miskin, niscaya Tuhannya akan menolongnya dari para musuh serta
akan memberinya rizki.
2.10 Hijrah di Jalan Allah
2.10.1 Makna Hijrah di Jalan Allah
Hijrah sebagaimana dikatakan oleh
Imam Ar-Raghib Al- Ashfahani adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri
iman, sebagaimana para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Dan hijrah di jalan Allah itu,
sebagaimana dikatakan oleh Sayid Muhammad Rasyid Ridha harus dengan
sebenarbenarnya. Artinya, maksud orang yang berhijrah dari negeri-nya itu
adalah untuk mendapatkan ridha Allah dengan mene gakkan agamaNya yang ia
merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Allah, juga
untuk me-nolong saudara-saudaranya yang beriman dari permusuhan orang-orang
kafir.
2.10.2 Dalil Syar'i Bahwa Hijrah di Jalan Allah
Termasuk Kunci Rizki
Di antara dalil yang menunjukkan
bahwa berhijrah di jalan Allah termasuk kunci rizki adalah firman Allah:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak." (An-Nisa': 100). Dalam
ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di jalan
Allah akan mendapati dua hal: Pertama, ãõÑóÇÛóãðÇ ßóËöíúÑðÇ kedua, ÓóÚóÉð. Yang
dimaksud ãõÑóÇÛóãðÇ sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Razi adalah, barangsiapa
berhijrah di jalan Allah ke negeri lain, niscaya akan mendapati di negerinya
yang baru itu kebaikan dan kenikmatan yang menjadi sebab kehinaan dan
kekecewaan para musuhnya yang berada di negeri asal-nya. Sebab orang yang
memisahkan diri dan pergi ke negeri asing, sehingga mendapatkan ketentraman di
sana, lalu berita itu sampai kepada negeri asalnya, niscaya penduduk asli
negeri itu akan malu atas buruknya mua'amalah (perlakuan) yang mereka berikan,
sehingga dengan demikian mereka merasa hina.'
Sedang yang dimaksud, ÓóÚóÉð
(keluasan), yaitu keluasan rizki. Inilah yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas
dalam menafsirkan ayat ini. Juga dikatakan oleh Ar-Rabi', Adh- Dhakkak, Atha'
dan mayoritas ulama. Qatadah berkata: "Maknanya, keluasan dari kesesatan
kepada petunjuk dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan."
Imam Malik berkata: "Keluasan
yang dimaksud adalah keluasan negeri." Mengomentari ketiga pendapat di
atas, Imam Al-Qurthubi mengatakan: "Pendapat Imam Malik lebih dekat pada
kefasihan ungkapan bahasa Arab. Sebab keluasan ne-geri dan banyaknya bangunan
menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kelapangan dada yang siap
menanggung kesedihan dan pikiran serta hal hal lain yang menunjukkan
kemudahan." Pendapat mana saja yang kita ambil dari ketiga pendapat di
atas, yang jelas semuanya menunjukkan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah
akan mendapatkan janji dari Allah berupa keluasan rizki, baik dengan ungkapan
langsung maupun secara tidak langsung. Dan sungguh janji Allah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Menentukan adalah suatu janji yang haq serta tidak pernah luput. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah?
Sungguh dunia telah dan sampai
sekarang masih menyaksikan kebenaran janji ini. Dan saya kira, orang yang
mengetahui sedikit tentang sejarah Islam pun sudah tahu akan peristiwa
hijrahnya para sahabat Rasulullah ke Madinah. Ketika para sahabat meninggalkan
rumah-rumah, harta benda dan kekayaan mereka untuk hijrah di jalan Allah ,
Allah serta merta mengganti semuanya. Allah memberikan kepada mereka
kunci-kunci negeri Syam, Persia dan Yaman. Allah berikan kepada mereka
kekuasaan atas istana-istana negeri Syam yang merah, juga istana Mada'in yang
putih. Kepada mereka juga dibukakan pintu-pintu Shan'a, serta ditundukkan untuk
mereka berbagai simpanan kekayaan Kaisar dan Kisra.
Imam Ar-Razi menjelaskan kesimpulan
tafsir ayat yang mulia ini berkata: "Walhasil, seakan-akan dikatakan,
'Wahai manusia! Jika kamu membenci hijrah dari tanah airmu hanya karena takut
mendapatkan kesusahan dan ujian dalam per jalananmu, maka sekali-kali jangan
takut! Karena sesung-guhnya Allah akan memberimu berbagai nikmat yang agung dan
pahala yang besar dalam hijrahmu. Hal yang ke-mudian menyebabkan kehinaan
musuhmusuhmu dan men-jadi sebab bagi kelapangan hidupmu."
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi berdasarkan isi makalah yang
telah dipaparkan oleh penulis maka dapat disimpulkan :
1. Menurut
alqur-an dan as-sunnah rezeki dapat ditarik melalui istigfar dan taubat, taqwa,
tawaqal kepada allah, beribadah sepenuhnya kepada allah, Melanjutkan haji
dengan umroh, silaturahim, infaq di jalan allah, Berinfaq kepada penuntut ilmu
syar’i sepenuhnya, berbuat baik kepada orang-orang yang lemah, hijrah di jalan
allah.
2. Beribadah
sepenuhnya kepada allah dapat kita lakukan dengan cara menjalankan semua
perintahnya dan berusaha sekuat mungkin menjauhi larangannya.
3.2 Kritik dan Saran
Demikian makalah yang penulis buat.
Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin
disampaikan, silahkan sampaikan kepada penulis.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon
dapat mema’afkan dan memakluminya, karena penulis adalah hamba allah yang tak
luput dari salah,khilaf, alfa dan lupa.
0 komentar:
Posting Komentar