Harga Kredit lebih tinggi dari harga
tunai
Meskipun para ulama generasi awal
tidak menyetujui harga yang lebih tinggi pada jual beli pembayaran tunda, para
pengikut mazhab hanafi, mazhab syafi’i dan beberapa fuqaha dari mazhab-mazhab
lain menganut pandangan bahwa kenaikan harga pada jual-beli dengan pembayaran
tunda adalah boleh (syaukani, V: 152). Menurut ulama dari mazhab hanbali, ibn
qayyim, “ketika seseorang menjual sesuatu dengan harga seratus (rupiah) bila
dibayar tunda, atau dengan harga lima puluh (rupiah) bila dibayar tunai, maka
tidak ada riba dalam hal ini” (syihata, tt :104), baghawi (w. 516) 1122
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai murabahah dengan syarat
bahwa si pembeli dan penjual setuju terhadap salah satu harga (dari dua harga
yaitu harga tunai dan harga kredit) (VIII, 143). Ini, katanya, adalah pendapat
thomas (w.106/725). Pandangan ini secara tidak langsung mengatakan bahwa
mengenakan harga yang lebih tinggi pada jual beli dengan pembayaran tunda
adalah haram kecuali jika si penjual berkata kepada pembeli, “saya akan menjual
barang ini dengan harga sekian kalau tunai dan dengan harga sekian kalau
kredit.” Jika si penjual sejak awal mengatakan bahwa ia akan menjual barang
dengan harga sekian dan sekian untuk kredit dan ia tidak menyebutkan berapa
harga tunainya, tidak ada masalah ketidaksahan di sini. Banyak fuqaha, termasuk
sarakhsi (w.483/1090), marghinani, ibn qudmah, da Nawawi secara tegas
menyatakan bahwa pengenaan harga yang lebih tinggi pada jual-beli kredit adalah
praktik yang biasa dalam perdagangan, dan berdasarkan hal ini, para fuqaha
memperbolehkan harga yang lebih tinggi.
Jaminan untuk
pembiayaan murabahah
Meminta jaminan atas uang pada
dasarnya bukanlah sesuatu yang tercela, demikian menurut Al-Qur’an dan sunnah.
Al-Qur’an memerintahkan umat islam untuk menulis tagihan utang mereka, dan jika
perlu, meminta jaminan atas utang itu (Al-Qur’an, 2:283). Dalam sejumlah
kesempatan, nabi memberikan jaminannya kepada krediturnya atas utang beliau.
Jaminan adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa hak-hak krediturnya tidak
akan dihilangkan, dan untuk menghindarkan diri dari “memakan harta orang dengan
cara bathil” (Al-Qur’an, 2:188; 4:161 ; 9:34). Namun demikian, karena meminta
jaminan dipandang oleh para pendukung perbankan islam sebagai suatu penghemat
dalam aliran dana bank untuk para pengusaha kecil, bank-bank islam cenderung
mengkritik bank-bank konvensional terlalu ‘berorientasi jaminan’ (security oriented). Dalam kalimat
international islamic bank for investment and development (IIBID),
jaminan-jaminan adalah’unsur terpenting’ dalam keputusan memberikan pinjaman
oleh bank konvensional. Secara tidak langsung ini menyatakan bahwa bagi bank
islam, jaminan bukanlah soal penting dalam keputusan pembiayaan.
Penyebab akad murabahah belum 100% syariah
Perbankan atau dari kalangan praktisi
bahwa nasabah itu sendiri.
Berikut ini beberapa kendala yang
umum ditemukan.
Ketentuan perpajakan. Sampai saat ini
belum ada satupun ketentuan perpajakan yang mengecualikan produk perbankan
syariah, sehingga apabila bank syariah melakukan transaksi rill, seperti
jual-beli atau sewa maka ia akan terkena pajak. Hal ini tidak terkecuali,
apakah bank melakukan untuk kepentingannya sendiri maupun untuk kepentingan
nasabah. Karena murabahah, salam dan istishad adalah produk yang termasuk
jual-beli, yaitu antara bank dengan nasabah (penjualan), maka produk itu
terkena pajak pembelian dan pajak penjualan. Apabila keduanya dibebankan kepada
nasabah, dapat dibayangkan berapa tinggi harta yang harus dibayar oleh nasabah,
sehingga membuat bank syariah tidak kompetitif lagi.
Ketentuan hukum, murabahah yang
diterapkan secara konsisten dalam perbankan syariah juga akan menghadapi
masalah hukum. Seperti telah dijelaskan bahwa nasabah akan mendapatkan celah
untuk membantah bahwa berhutang kepada bank, karena yang diterimanya adalah
barang, bukan uang. Padahal kondisi hukum di indonesia masih menganggap bahwa
bank adalah lembaga pinjaman (uang) dan pinjaman itu akan efektif menjadi
hutang apabila yang diberikan ini dalam bentuk uang.
Sikap nasabah. Adakalanya murabahah
tidak dapat berjalan sesuai dengan yang digariskan oleh syariah karena sikap
nasabah sendiri. Misalnya ada kasus, nasabah tidak ingin bank mengetahui tempat
ia bisa membeli atau berbelanja. Dalam kasus ini syarat bahwa harga pokok/ awal
harus diketahui oleh kedua pihak jadi tidak terpenuhi
Sikap Bank. Terhadap penyimpangan
murabahah juga terjadi karena sikap para bankir yang cenderung mencari aman dan
menghindari risiko, sehingga transaksi murabahah yang dilakukan terkesan
dipaksakan sesuatu yang memang tidak sesuai dengan murabahah itu sendiri.
Padahal produk perbankan syariah sendiri bukan hanya murabahah.
Tipe-tipe penerapan murabahah dalam
perbankan syariah di indonesia
Ada berbagai pola penerapan murabahah
dalam perbankan syariah. Namun kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori
besar:
a. Tipe pertama, penerapan murabahah
adalah tipe konsisten terhadap fiqh muamalah. Menurut tipe ini, bank membeli
lebih dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian
sebelumnya. Hal ini mencangkup dalam perpindahan kepemilikan. Tipe ini
menimbulkan masalah dalam harga akibat pajak berganda kepada perpindahan
kepemilikan yang terjadi dua kali.
b. Tipe kedua, mirip dengan tipe pertama,
tapi perpindahan
c. Tipe ketiga. Tipe ini paling banyak di
praktikan oleh bank syariah. Bank melakukan perjanjian murabahah dengan
nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan kepada nasabah untuk membeli sendiri
barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikreditkan ke rekening nasabah dan
nasabah menandatangani tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar
bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank
karena tidak menerima uang sebagai sarana pinjaman. Praktik seperti ini tidak
dapat diterima oleh standar internasional, “ bahwa dewan pegawai syariah dallah
Al-Barakah tidak memperbolehkannya karena dikhwatirkan sama dengan transaksi
riba yang diharamkan. Dewan syariah nasional dalam menetapkan fatwa tentang
pembiayaan murabahah menyiratkan bolehnya transaksi dengan perwakilan ini.
Namun perlu diingat bahwa penetapan fatwa sepeti itu harus dikaitkan dengan
situasi yang tidak memungkinkan penerapan murabahah dalam perbankan syariah,
baik secara legal maupun perpajakan.
0 komentar:
Posting Komentar